Kondisi geografi Indonesia yang plural, cakupan wilayah luas, posisi strategis dan potensi sumber daya yang beraneka ragam ternyata setelah hampir 63 tahun merdeka belum memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya yang berjumlah 225 juta. Bahkan ada kecenderungan meningkatnya kemiskinan, berbagai krisis akan kebutuhan dasar hidup dan melemahnya nasionalisme. Wilayah subur dan kaya sumber daya alam ternyata sangat kontradiktif dengan kondisi rakyat kebanyakan yang sulit dan mahal untuk memperoleh pangan dan sumber energi dalam menopang kehidupannya.
Kondisi geografis yang plural atau beraneka ragam untuk masing-2 wilayah selama ini tidak dimanfaatkan sebagai keunggulan kompetitif tetapi diperkosa atas nama keseragaman. Sebagai contoh wilayah Papua yang potensial untuk umbi-2an dan sagu dipaksa untuk menanam padi. Nusa Tenggara Timur yang cocok untuk jagung, ketela juga dipaksa untuk sawah padi. Akibatnya selain ongkos produksi tinggi, produktifitas rendah dan ada ketergantungan beras. Demikian juga hal-hal lain yang menyangkut keunggulan kondisi geografis seperti posisi strategis Indonesia, negara tropis dan maritim yang kaya energi terbarukan seperti ombak, angin , sinar matahari, air laut belum dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan telah berkembang salah kaprah seolah-olah sumber energi hanya minyak dan gas serta sumber pangan hanya beras.
ma ini. Kebijakan pembangunan wilayah yang menafikan faktor keunggulan kompetitif masing-masing wilayah geografis selama ini harus ditinggalkan dan para pengambil kebijakan di legislatif, eksekutif dan yudikatif harus merubah midsetnya untuk menggunakan telahan atau kajian pendekatan geografis sebagai pijakan pertama dan utama dalam merumuskan kebijakan dan program pembangunan masing-2 wilayah. Jika tidak akan berakibat keterasingan rakyat dan rusaknya lingkungan hidup. Upaya-upaya penyeragaman suatu program pembangunan tidak akan pernah berhasil karena bertentangan dengan hakekat heteroginitas atau pluralitas kondisi geografis masing-2 wilayah.
Pendekatan geografis dalam pembangunan sejatinya memandang suatu wilayah sebagai hasil interaksi yang dinamis antara 5 aspek geosfer yaitu : litosfer, hidrosfer, atmosfer, biosfer dan antroposfer. Aspek tersebut berinteraksi dan untuk masing-2 wilayah faktor manusia dengan tingkat pengetahuan dan tehnologi serta budayanya berpengaruh besar dalam mempengaruhi faktor fisik alam. Hal inilah yang membuat masing-2 wilayah mempunyai karakteristik geografi yang unik. Justru keunikan inilah yang membuat suatu wilayah mempunyai keunggulan kompetitif. Oleh karena itu jangan sekali-kali semua program pembangunan diseragamkan.
Kekuatan pengelola negara (terutama Presiden sebagai Kepala Negara/Pemerintahan) adalah bagaimana merangkai keanekaragaman atau pluralitas tersebut menjadi mosaik yang membentuk "gambar yang indah" sehingga rakyat sejahtera.Bukan terletak pada keberhasilan dalam menyatukan potensi bangsa yang beraneka ragam. Keaneka ragaman pada dasarnya tidak bisa disatukan, tetapi dirangkai atau dirajut secara sinergis .
Kondisi geografis yang plural atau beraneka ragam untuk masing-2 wilayah selama ini tidak dimanfaatkan sebagai keunggulan kompetitif tetapi diperkosa atas nama keseragaman. Sebagai contoh wilayah Papua yang potensial untuk umbi-2an dan sagu dipaksa untuk menanam padi. Nusa Tenggara Timur yang cocok untuk jagung, ketela juga dipaksa untuk sawah padi. Akibatnya selain ongkos produksi tinggi, produktifitas rendah dan ada ketergantungan beras. Demikian juga hal-hal lain yang menyangkut keunggulan kondisi geografis seperti posisi strategis Indonesia, negara tropis dan maritim yang kaya energi terbarukan seperti ombak, angin , sinar matahari, air laut belum dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan telah berkembang salah kaprah seolah-olah sumber energi hanya minyak dan gas serta sumber pangan hanya beras.
ma ini. Kebijakan pembangunan wilayah yang menafikan faktor keunggulan kompetitif masing-masing wilayah geografis selama ini harus ditinggalkan dan para pengambil kebijakan di legislatif, eksekutif dan yudikatif harus merubah midsetnya untuk menggunakan telahan atau kajian pendekatan geografis sebagai pijakan pertama dan utama dalam merumuskan kebijakan dan program pembangunan masing-2 wilayah. Jika tidak akan berakibat keterasingan rakyat dan rusaknya lingkungan hidup. Upaya-upaya penyeragaman suatu program pembangunan tidak akan pernah berhasil karena bertentangan dengan hakekat heteroginitas atau pluralitas kondisi geografis masing-2 wilayah.
Pendekatan geografis dalam pembangunan sejatinya memandang suatu wilayah sebagai hasil interaksi yang dinamis antara 5 aspek geosfer yaitu : litosfer, hidrosfer, atmosfer, biosfer dan antroposfer. Aspek tersebut berinteraksi dan untuk masing-2 wilayah faktor manusia dengan tingkat pengetahuan dan tehnologi serta budayanya berpengaruh besar dalam mempengaruhi faktor fisik alam. Hal inilah yang membuat masing-2 wilayah mempunyai karakteristik geografi yang unik. Justru keunikan inilah yang membuat suatu wilayah mempunyai keunggulan kompetitif. Oleh karena itu jangan sekali-kali semua program pembangunan diseragamkan.
Kekuatan pengelola negara (terutama Presiden sebagai Kepala Negara/Pemerintahan) adalah bagaimana merangkai keanekaragaman atau pluralitas tersebut menjadi mosaik yang membentuk "gambar yang indah" sehingga rakyat sejahtera.Bukan terletak pada keberhasilan dalam menyatukan potensi bangsa yang beraneka ragam. Keaneka ragaman pada dasarnya tidak bisa disatukan, tetapi dirangkai atau dirajut secara sinergis .
No comments:
Post a Comment